Relevansi Pendidikan Anak dengan Ibadah Ke Tanah Suci
Atsar.id
Atsar.id

Relevansi Pendidikan Anak dengan Ibadah Ke Tanah Suci

Relevansi Pendidikan Anak dengan Ibadah Ke Tanah Suci Kali ini, dalam rombongan kami, ada 10 peserta umroh yang terdata sebagai anak-anak di bawah umur.&nbsp. Terharu berkombinasi harapan indah, saat menyaksikan sang ayah menggendong anaknya di atas bahu saat thowaf mengelilingi Ka'bah. Menggali dan memasangkan pondasi ibadah untuk bangunan kehidupan anak-anak itu di kemudian waktu! Mengacu pada referensi sejarah ibadah anak ke Tanah Suci, mestinya mengingatkan kita pada sosok wanita hebat bernama Asma' bintu 'Umais. Janda sahabat Jakfar bin Abi Thalib yang dinikahi oleh sahabat Abu Bakar itu tetap bersikeras untuk ikut berhaji, padahal sedang hamil tua. Maka, beberapa saat setelah ihram untuk haji Wada' di Dzulhulaifah, Asma' melahirkan anak laki-laki. Bayi itu langsung disambut gembira oleh ayahnya, Abu Bakar, dan diberi nama Muhammad. Muhammad bin Abu Bakar yang masih bayi dibawa serta berhaji ke Tanah Suci. Dasar hukum berikutnya adalah : Al Bukhari (1725) yang meriwayatkan ucapan sahabat As Sa'ib bin Yazid, " Aku dibawa berhaji oleh ayahku bersama Rasulullah ﷺ. Saat itu usiaku masih 7 tahun ". Selanjutnya, di hadis nomor 1857, Al Bukhari membuat judul bab : Haji Anak-Anak. Lalu menyebutkan riwayat sahabat Ibnu Abbas yang turut berhaji bersama Rasulullah ﷺ.  Usia Ibnu Abbas waktu itu masih 13 tahun. Belum baligh. Riwayat ibadah anak ke Tanah Suci yang paling sering disebut adalah riwayat Muslim (2377) . Saat itu Nabi Muhammad ﷺ berpapasan dalam perjalanan haji dengan rombongan orang di daerah Rauha'. Di tengah percakapan, seorang ibu mengangkat bayinya tinggi-tinggi agar bisa dilihat oleh Rasulullah ﷺ,  sambil bertanya, " Wahai, Rasulullah. Apakah bayi ini pun memperoleh pahala haji? " Nabi Muhammad ﷺ menjawab : نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ " Tentu. Dan engkau pun memperoleh pahala ". Ulama menyimpulkan bahwa haji atau umroh yang dilakukan anak yang belum baligh, hukumnya sah dan beroleh pahala. Namun, kewajiban berhaji dan berumroh belumlah gugur. Sehingga, setelah baligh, jika mampu, tetap harus berangkat haji dan umroh. Bagi orang tua yang mampu, mestinya tidak menganggap eman-eman, dan buat apa menilai rugi, untuk memberangkatkan anak ke Tanah Suci. " Ah, besok saja kalau sudah baligh. Supaya sekaligus gugur kewajibannya ", itu alasannya. Begini wahai, orang tua yang mampu, 1. Apakah bisa dijamin, setelah anak mencapai baligh, kemampuan itu masih ada? 2. Apakah bisa dijamin, setelah anak mencapai baligh, kesempatan bersama orang tua masih ada? Banyak cerita, dan itu fakta, hari itu seseorang mampu secara finansial, namun dalam hitungan singkat, jatuh miskin. Tidakkah menyesal nantinya? Banyak cerita, dan itulah realita, beberapa waktu berikutnya, ada saja halangan, entah orang tua yang tiada, anak yang menolak, regulasi yang berubah, atau faktor lainnya, sehingga kesempatan memberangkatkan anak ke Tanah Suci menjadi terkendala. Jika mampu, bukankah semestinya orang tua tertarik dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ : نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ " Tentu. Dan engkau pun memperoleh pahala ". Orang tua beroleh pahala karena telah mengajarkan kebaikan kepada anak, membiayai, membantu, dan mendampingi. Selain itu, orang tua telah berusaha menanamkan nilai-nilai ibadah kepada anak sejak dini. Momen anak di Tanah Suci dengan berbagai manasik, diharapkan menjadi pondasi kuat untuk kehidupannya di masa depan. Daripada harta habis percuma, uang begitu saja terbuang, atau membawa anak wisata ke luar negeri, tidakkah akan lebih baik jika membawa anak ke Mekkah untuk beribadah? Semoga anak-anak kita menjadi saleh salehah. 12 Rajab 1444 H/03 Februari 2023 ( bahan kajian jamaah umroh di Musholla Hotel Meridien Tower ) t.me/anakmudadansalaf

Anak Muda dan Salaf
Feb 5, 20233 min read
 Jangan Benci Kaum Wanita Yang Ingin Mulia
Atsar.id
Atsar.id

Jangan Benci Kaum Wanita Yang Ingin Mulia

Jangan Benci Kaum Wanita Yang Ingin Mulia ( III ) Artikel ini adalah lanjutan 2 artikel sebelumnya.&nbsp. 1. Mereka yang Menghina Kaum Wanita 2. Eksplorasi dan Eksploitasi Hitam Kaum Wanita * * * * * Bahagia bertambah ceria saat menyaksikan gadis kecil usia 4 atau 5 tahun yang malu-malu, menutupi wajahnya dengan ujung jilbabnya. Ia benamkan kepalanya ke pelukan ayahnya. Padahal hanya ditanya, "Siapa namamu, Nak?" Ah, sejak kecil sudah mengenal rasa malu! Teringat kita akan kisah Nabi Musa di negeri Madyan. Beliau menolong 2 wanita, yang sedang menunggu para penggembala laki-laki di sumber mata air. Antre menunggu giliran, dengan jarak yang terpisah. Setelah pulang dan melapor kepada sang ayah, salah satu dari wanita itu datang menemui Nabi Musa : تَمْشِى عَلَى ٱسْتِحْيَآءٍۢ " Wanita itu berjalan dengan malu-malu " Al Qashas : 25. Menurut Umar bin Khattab (Tafsir Ibnu Katsir),  “Wanita itu datang dengan malu-malu, sambil menutupi wajahnya dengan kainnya. Bukan wanita dengan type ‘berani’, yang terbiasa keluar masuk (menemui laki-laki)”. Wanita terhormat dan bermartabat, sejak dahulu kala, adalah wanita yang mempunyai rasa malu jika bertemu, berbicara, apalagi berbaur dengan laki-laki.  Jika wanita sudah tidak memisahkan pergaulan dengan laki-laki, tidak menjaga jarak, bahkan malah bebas tanpa batas, artinya wanita tersebut tidak lagi punya harga diri. Sama halnya, wanita yang terhormat dan bermartabat adalah wanita yang menjaga aurat, menyembunyikan kecantikan, dan membentengi diri dari pergaulan bebas. Wanita yang mengumbar aurat, pamer kecantikan, atau terbuka kepada laki-laki, adalah wanita yang tak menghargai dirinya sendiri. Allah Ta'ala memerintahkan kaum wanita : وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى " Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu " QS Al Ahzab : 33 Allah berfirman :  يَٰأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا " Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang " Al Ahzab: 59 Apa itu jilbab di dalam ayat tersebut?  Menurut Ibnu Abbas ( Tafsir At Thabari 19/181 ), Allah Ta'ala memerintahkan kaum mukminah, jika keluar rumah untuk satu keperluan, agar menutup wajah dengan kain yang dijulurkan dari arah kepala " Coba jawab keinginan kaum wanita yang hendak menjaga kemuliaan : salah kah mereka yang menjadikan rumah sebagai medan juang? Hina kah mereka yang mau menutup aurat karena meniru istri-istri Nabi Muhammad ﷺ? Ayah, anak gadismu adalah harta sangat berharga. Jaga dan lindungi! Jangan biarkan bebas dan lepas liar. Ayah, arahkan anak gadismu di pesantren, karena di sana lebih terjaga. Dengan segala kekurangan pesantren, dan tidak 100% yang di pesantren berhasil, namun bukankah seorang ayah harus berusaha menjaga anak gadisnya? Tega kah dan rela kah, jika anak gadismu sekolah di tengah-tengah "serigala" buas yang selalu mengincar? Di tengah-tengah "buaya" yang terus bersiap menerkam? Ah, biar dibilang apa, karena anak gadismu di pesantren. Dikata kuno atau ketinggalan jaman. Dituduh membelenggu perempuan. Difitnah ini dan itu. Biar saja!  Toh, tanggungjawab ayah diperhadapkan pada Allah Ta'ala di hari kiamat kelak. Bukan kepada manusia-manusia itu! Anak perempuanku, mari kita pilih dan jalani kehidupan yang mulia ini. Jalan hidup yang telah ditempuh oleh istri-istri Nabi Muhammad ﷺ. Agar kita bisa berharap, di surga esok, kita orang tua dan anak dipersatukan dengan Nabi Muhammad ﷺ dan keluarganya. Tetap semangat belajar di pesantren, anak gadisku! Benda, 10 Rajab 1444 H/31 Januari 2023

Adab & Akhlak
Feb 2, 20234 min read
«»
HomeRadioArtikelPodcast